Ratio Decidendi
Menimbang, bahwa
penunjukan pasal-pasal oleh kedua pejabat diatas ini jelas keliru, sebab pasal
60 haruslah dihubungkan dengan pasal-pasal 57,58 dan 59 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk dengan
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan (perkawinan campuran),
pada hal kasus a quo tidaklah mengenai perkawinan campuran dalam pengertian
tersebut di atas, sebab kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan
berkewarganegaraan Indonesia, hanya berlainan agama dan karena itu seharusnya
ditunjuk ke pasal 21 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
Menimbang,
bahwa sekalipun Pemohon beragama Islam dan menurut ketentuan pasal 63 ayat (1a)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila diperlukan campur
tangan Pengadilan maka hal itu merupakan wewenang dari Pengadilan Agama, namun
karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan pasa perbedaan agama maka jelas bahwa
penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan
sebagaimana dimaksudkan pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan karena kasus
a quo bukan merupakan kasus seperti
dimaksudkan oleh pasal 60 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka
sudahlah tepat apabila kasus a quo
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama;
Menimbang,
bahwa dari asas perbedaan agama dari calon suami-isteri tidak merupakan
larangan perkawinan bagi mereka dan kenyataan bahwa terjadi banyak perkawinan
yang diniatkan oleh mereka yang berlainan agama, maka Mahkamah Agung
berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka
kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan tidak
terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut
pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat
maupun beragama yang berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial
maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah
dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya;
Menimbang
bahwa menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 maka dengan
mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi;
Menimbang,
bahwa menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
Pegawai Pencatat untuk Perkawinan menurut agama Islam adalah mereka sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talaq dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil;
Menimbang,
bahwa dengan demikian bagi Pemohon yang beragama Islam dan yang akan
melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki beragama Kristen Protestan
bernama : Andrianus Petrus Hendrik Nelwan
tidak mungkin melangsungkan perkawinan di hadapana Pegawai Pencatat Nikah,
Talaq dan Rujuk;
Menimbang,
bahwa dengan demikian penolakan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Jakarta adalah
tepat, sekalipun pertimbangannya tidak dapat dibenarkan oleh karenanya
permohonan Pemohon agar penolakan tersebut dinyatakan tidak beralasan harus
ditolak;
Menimbang,
bahwa perlu ditemukan jawaban apakah mereka dapat melangsungkan perkawinan di
hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagai
satu-satunya kemungkinan, sebab di luar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk
melangsungkan perkawinan;
Menimbang,
bahwa kalau dilihat dari pihak masing-masing dan dari pihak ayah dari Pemohon
kasasi maka terbukti bahwa benar-benar mereka menghendaki dilangsungkannya
perkawinan;
Menimbang,
bahwa dengan diajukannya permohonan untuk melangsungkan perkawinan kepada
Kepala Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa Pemohon
berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan dengan
demikian haruslah ditafsirkan pula bahwa dengan mengajukan permohonan itu
Pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya ( in casu agama Islam ),
sehingga pasal 8 sub f Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka
kehendaki, dan dalam hal/keadaan yang demikian seharusnya Kantor Catatan Sipil
sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami-isteri tidak beragama Islam
wajib menerima permohonan Pemohon;
Menimbang,
bahwa dengan demikian maka penolakan Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan
atau membantu melangsungkan perkawinan antara Pemohon dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan tidaklah
dapat dibenarkan. Oleh karenanya harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi untuk sebagian;
Menimbang,
bahwa karena permohonan hanya dikabulkan untuk sebagian, maka Pemohon akan
dibebani pula untuk membayar biaya kasasi;
Orbiter Dicta
Menimbang:
mengenai
keberatan-keberatan ad 1 dan ad 2 :
Bahwa
keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan karena :
1.
Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apa pun yang
menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan
larangan perkawinan. Hal mana adalah sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945
pasal 27 yang menentukan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama
warganegara sekalipun berlainan agama.
Dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan
larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29
UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warganegara
untuk memeluk agama masing-masing;
2.
Sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas maka Undang-undang tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai perkawinan dari calon suami-isteri yang berlainan agama;
3.
Sebelum berlakunya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, ada peraturan yang mengatur tentang Perkawinan
Campuran ialah regeling op de Gemengde
Huwelijken, S. 1898 No. 158 – disingkat GHR- yang mengatur perkawinan
antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan, dan perkawinan
antara seorang yang beragama Kristen dan seorang yang tidak beragama Kristen
dapat digolongkan sebagai perkawinan GHR. Sekalipun menurut kata-kata yang
terdapat dalam pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu “sejauh telah
diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”, atas kasus a quo dapat diberlakukan ketentuan dari
GHR karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengaturnya, namun ketentuan
dari GHR ataupun dari Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 No. 74)
tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah
yang amat lebar antara Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua ordonansi
tersebut yaitu :
Undang-undang
tentang Perkawinan menganut asas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan itu merupakan salah
satu perwujudan dari Pancasila sebagai falsafah negara. Perkawinan tidak lagi
hanya dilihat hanya dalam hubungan perdata, sebab Perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan perkawinan yang
diatur baik oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesie
– S. 1933 No. 74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken – S. 1898 No. 158) kesemuanya
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja;
4.
Dengan demikian jelas
bahwa dalam Undang-undang tentang Perkawinan menghadapi kasus a quo terdapat kekosongan hukum karena
menurut kenyataan dan yurisprudensi dalam hal perkawinan antara calon suami dan
calon isteri yang berbeda agamanya ada 2 stelsel hukum perkawinan yang berlaku
pada saat yang sama, sehingga harus ditentukan hukum perkawinan yang mana yang
diterapkan, sedang pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 10
ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang yang
sama agamanya. Di samping adanya kekosongan hukum maka juga di dalam kenyataan
hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik/heterogen tidak
sedikit terjadi perkawinan atau niat melaksanakan perkawinan seperti tersebut
di atas;
Menimbang,
bahwa dari berkas perkara ternyata :
1.
Ada pemberitahuan dari Andrianus Petrus Hendrik Nelwan dan Andi Vonny Gani P. kepada Kepala/Pegawai
Luar Biasa Pencatat Sipil Khusus bahwa mereka akan melangsungkan perkawinan dan
minta agar pemberitahuan itu dicatat serta diumumkan seperlunya (bukti P 6);
dari pemberitahuan tersebut ternyata bahwa pada saat itu Andrianus Petrus Hendrik Nelwan dan Andi Vonny Gani P. masing-masing sudah mencapai umur lebih dari 21
tahun sehingga bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan tidak diperlukan lagi
izin dari kedua orangtua mereka;
2.
Ada Surat Pernyataan
dari Drs. Andi Gani Parengi sebagai ayah kandung dari Andi Vonny Gani P. yang menyatakan memberi izin/persetujuan Andi Vonny Gani P. untuk melangsungkan
pernikahan dengan Andrianus Petrus
Hendrik Nelwan;
3.
Dari memori kasasi yang
diajukan, Pemohon tetap mohon diberi izin untuk melangsungkan perkawinan dengan
Andrianus Petrus Hendrik Nelwan;
4.
Dari surat Andi Vonny Gani P. dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan kepada
Mahkamah Agung tertanggal 19 April 1986 ternyata mereka tetap menginginkan
untuk dapat melangsungkan perkawinan;
No comments:
Post a Comment