SAHABAT
atau
"SAHABAT"
“Hai, Nad…,”
sapaku kepada seseorang yang biasa dipanggil akrab dengan sebutan Nadia.
Tapi sama sekali
tak kudengar sepatah katapun keluar dari mulutnya. Apa ada yang salah dengan sapaanku beberapa
detik lalu? Karena kebingungan, akupun tertegun sejenak. Aku berdiri tak
bergeming dengan pandangan yang kosong. Kemudian kucoba menyapa teman sekelasku
yang lain.
“Siang, Fi…”
Tapi reaksi yang
kudapat tak memenuhi keinginanku. Mereka juga tidak membalas sapaanku. Oh
Tuhan.. Ada apa dengan teman-temanku? Jangan-jangan aku menyakiti mereka tanpa
aku sadari. Dengan langkah gontai, akupun berjalan menuju tempat dudukku yang
berada di sudut ruangan. Dapat kurasakan dinginnya tatapan mata yang sedari
tadi menghujam punggungku. Begitu pula dengan bisikan kata-kata pedas mereka
yang membicarakanku.
“Hei, aku nggak
salah!” teriak hati kecilku.
Bodohnya aku…
Mengapa aku dilahirkan tanpa keberanian untuk mengungkapkan isi hatiku. Mengapa
juga aku tak dapat berbuat apapun dan membalas perbuatan mereka? Aku tak bisa
berkonsentrasi. Oh ya, mana Aaron... Aku butuh dia sekarang.
“Aku tak boleh menangis. Ca... Kamu harus bisa
bertahan... Sebentar lagi ia pasti datang...”
Terus menerus
kuulang kata-kata itu dalam hatiku. Kurasakan kedua bola mataku terasa perih
dan pelupuk mataku tergenang oleh air mata. Aku menoleh ke arah jam dinding
yang berwarna hitam itu dan kulihat jarum panjang menunjukkan pukul 10.30.
Akhirnya bel pulang sekolah pun berdentang. Aku langsung mengambil Hpku dan
menelepon Aaron.
“Aaron... Kamu
dimana sih... Kenapa kamu nggak datang ke sekolah... “ kataku dengan
sesenggukan.
“Kamu keluar
dulu... Nanti baru ku jelaskan...” jawabnya santai.
Tanpa pikir
panjang aku langsung bangkit dari kursi dan meninggalkan ruangan itu.
Kupercepat langkahku ke tempat parkir. Karena, aku tahu Aaron telah menjemputku
dengan AudiR8 silvernya di tempat biasa kami bertemu. Aku melambai & kupercepat
langkahku menuju ke arahnya.
“Kenapa tadi tidak
masuk sekolah?”
“Ca... Masa kamu
lupa ini hari apa...”
“Ya nggak lupa..
Aku tahu... Ini hari Sabtu kan...” jawabku.
“Ya ampun Ca...
Ca... Lupa boleh, asal ada batasnya... Hari ini kan kamu ulang tahun. Jadi,
sekarang aku akan memberimu ini....” katanya sembari memberiku buket bunga
mawar yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik punggungnya itu.
“Selamat ulang
tahun ya, Ca.” katanya seraya memelukku.
“Terima kasih ya,
Ron. Aku senang sekali.”
Setelah itu, kami pergi
ke taman kota untuk membunuh waktu. Di sana, kami berdua berbincang-bincang
tentang apapun. Pukul 8 malam, Aaron mengantarku pulang.
Sesampainya
dikamar, langsung saja buket mawar itu kutaruh di vas yang berisi air agar
tidak layu. Aaron memang perhatian, tapi kadang aku merasa ada sesuatu yang ia
sembunyikan dariku. Tapi aku tak perduli akan hal itu, aku percaya kalau ia
takkan mengkhianatiku.
Karena tidak
mengantuk, akupun chattingan. Di sinilah aku berteman dengan seorang lelaki
yang mengaku pemain basket, keren, tinggi, dan pandai. Namanya Aldo. Walaupun
semua yang ia katakan sangat berlebihan, tapi aku percaya saja. Aku merasa Aldo
sangat baik dan perhatian. Hal itu dapat kulihat dari cara bicaranya ketika
sedang bercakap-cakap denganku. Aku jadi merasa nyaman dengannya.
***
Rasanya hari ini
aku malas sekali untuk berangkat ke sekolah, mengingat apa yang diperbuat
teman-temanku kemarin. Tapi, aku tidak ingin ketinggalan pelajaran karena
sebentar lagi ujian. Akhirnya, akupun berangkat ke sekolah dengan
malas-malasan. Tetapi, sesampainya di kelas, ada suatu keanehan... Kelasku
sudah kembali normal. Kini aku tak seperti di ruangan beranggotakan boneka
lagi. Bahkan Nadia yang menyapaku duluan!
“Pagi, Ca.”
sapanya dengan senyum yang membuat lesung pipi kirinya terlihat.
“Pagi, Nad...
Bukannya kemarin kamu marah sama aku?”tanyaku dengan ekspresi kebingungan.
“Oh, siapa bilang.
Mungkin waktu kamu menyapa, aku tidak dengar. Oh ya, ini ada titipan surat dari
Aldo.”
“Lho? Darimana
kamu kenal dia?”
“Aku saudara
sepupunya. Kebetulan kemarin ia menceritakan seseorang yang ternyata
kamu.”katanya sambil menggodaku.
“Benarkah? Kamu
tidak sedang mengerjaiku kan?” tanyaku curiga.
“Tentu saja
tidak.” Jawabnya singkat.
“Ya sudah, aku
percaya padamu.”
Di hadapannya, aku
membaca surat itu. Surat tanpa tulisan tangan itu terlihat sangat sangat
mencurigakan, tapi aku percaya kalau Nadia tidak membohongiku. Jadi langsung
saja kutulis surat balasan untuk Aldo yang kutitipkan pada Nadia.
***
Esoknya,
sesampainya di kelas, aku menyapa Aaron seperti hari-hari biasanya. Tapi ia tak
menjawab, menoleh sedikit pun tidak. Aku jadi bingung. Apa dia sedang bad mood? Perasaan kemarin hubungan kami
masih baik seperti biasa. Ketika aku mencoba untuk memanggilnya, tiba-tiba ia
berdiri dari tempat ia duduk dan menghadapku dengan muka marah.
“Kenapa kamu
seperti ini terhadapku? Kamu senang mempermainkanku? Puas kamu melihat aku
marah dan cemburu melihatmu mesra-mesraan dengan lelaki yang baru kamu
kenal...?”
Pertanyaan
beruntun itu membuatku bingung. Apa maksudnya? Aku tidak pernah
mempermainkannya. Aku tidak dekat dengan lelaki selain Aaron. Lalu kenapa...
“Kenapa tidak menjawab!
Ini tulisanmu ‘kan!” bentaknya dengan keras sembari membuang selembar kertas.
Kuambil kertas itu
dari lantai. Di pojok kanan bawah memang ada tanda tanganku, tapi setelah
kubaca surat ini berbeda sekali dengan surat yang kutulis kemarin. Surat ini
penuh dengan kata-kata yang mesra, yang bahkan tak kuketahui apa artinya. Tapi
tulisannya mirip sekali dengan tulisan tanganku. Apa-apaan ini.
“Ron, aku nggak
pernah menulis kata-kata seperti ini. Percayalah padaku...”kataku memohon.
“Tapi aku kenal
baik dengan tulisanmu. Ini tulisanmu ‘kan. Sudahlah, kalau kau memang tidak
ingin berhubungan denganku lagi. Jadi, lebih baik sekarang kita
PUTUS...”jawabnya tegas.
Aku sudah lama
kenal Aaron, ia tidak akan menjilat ludahnya sendiri. Jadi aku tahu, aku tidak
akan bisa memperbaiki hubungan ini. Siapakah yang telah begitu kejam padaku
hingga membuat hubunganku dengan Aaron hancur... Hubungan yang sudah lama
kubina dengannya kini benar-benar hancur berkeping-keping. Tak dapat kulihat
lagi secercah harapan untuk kembali lagi dengannya. Setelah kejadian itu,
esoknya aku pergi ke Beijing untuk melupakan Aaron.
***
Tahun demi tahun
berlalu. Kini aku sudah beranjak dewasa dengan menginjak kepala 2. Aku kembali
ke Indonesia karena SMA ku mengadakan reuni. Iseng-iseng aku melihat sebuah
buku yang berisi komentar para alumni. Kubolak-balik halaman yang ada dan
betapa terkejutnya aku ketika melihat tulisan yang sangat mirip dengan
tulisanku. Aku tidak pernah merasa menulisnya. Betapa terkejutnya aku ketika
mendapati nama yang tertera di pojok
kanan bawah. NADIA. Jadi, waktu itu... Kejam...
“Hai, Ca... Kapan
kamu datang?” sapa Nadia yang sedang menggandeng lelaki yang sudah tak asing
lagi.
“Aaron... Nadia...
Kalian... Jadian?”
“Iya.”jawab Aaron
dengan singkat.
“Nad, kamu kan
yang waktu itu membohongi aku & Aaron dengan surat palsu yang kamu buat
karena tulisanmu mirip dengan tulisanku. Hanya untuk merebut Aaron dariku...”selidik
ku.
“Hahaha... Ca, mana mungkin aku sejahat itu.
Kamu sekarang beda. Menuduh orang seenak hati. Ayo say, kita pergi.”
“Tunggu Nad... Apa
yang tadi dikatakan Anca benar? Jawab dengan jujur!”
“Ya nggak
benarlah, say! Jadi sekarang kamu lebih membela dia daripada pacarmu ini? Ya
sudahlah, lebih baik hubungan kita sampai disi...”
Belum sempat Nadia
melanjutkan kata-katanya, Aaron langsung memeluknya. Tuhan, kenapa hidup ini
sungguh tak adil.
“Tentu saja aku
lebih membela pacarku daripada mantanku,” jawab Aaron.
Mendengar
kata-kata itu, aku tak sanggup berkata-kata lagi. Kini rasa kepercayaanku
benar-benar sudah menjadi serpihan debu yang sudah tak dapat disatukan lagi.
Ternyata, temanku sendiri, yang sudah kupercayai, membohongi aku, demi
mendapatkan seorang Aaron. Kini, aku bersumpah tak kan pernah mempercayai
siapapun, walaupun ia temanku atau pacar sekalipun. Dan aku sendiri tak tahu,
kapan ‘AKU’ yang dulu, aku yang selalu mempercayai orang, akan kembali lagi.
Karena bila sekarang kulihat diriku sendiri, akupun takut untuk melihatnya,
karena aku yang sekarang adalah seorang yang berbeda... Sangat berbeda.
No comments:
Post a Comment